Beranda | Artikel
Hadits Arbain #02: Memahami Dua Kalimat Syahadat
Sabtu, 30 September 2017

 

Hadits kali ini adalah hadits kedua dari kitab Hadits Arbain An-Nawawiyyah karya Imam Nawawi membicarakan tentang masalah dasar Islam. Kali ini yang dipelajari adalah dua kalimat syahadat.

Dari Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ

Ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan tangannya di atas pahanya.

وَقاَلَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ، وَتَحُجَّ البَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .

Selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (HR. Muslim, no. 8). Hadits ini masih berlanjut.

 

Pelajaran Bagian Pertama dari Hadits #02

1- Hadits ini menunjukkan bagaimanakah mulianya akhlak Rasul karena masih mau duduk-duduk dengan sahabat beliau. Akhlak ini menunjukkan tawadhu’ (rendah hati) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tawadhu’ itu akan semakin mulia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588).

2- Yang datang adalah malaikat dalam wujud manusia. Malaikat bisa berwujud seperti itu dengan kehendak Allah.

3- Yang datang dalam keadaan memakai pakaian putih. Maka ada anjuran memakai pakaian putih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula.” (HR. Abu Daud, no. 4061, Ibnu Majah, no. 3566 dan An-Nasa’i, no. 5325. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam Hasyiyah As Sindi disebutkan, “Karena pakaian putih sangat jelas bila terdapat kotoran yang hal ini tidak tampak pada pakaian warna lainnya. Begitu pula pencuciannya lebih diperhatikan daripada pencucian dalam pakaian lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyebut pakain putih sebagai pakaian yang lebih bersih dan lebih baik.”

4- Yang datang dalam keadaan masih muda karena disebut rambutnya hitam.

Bagaimana kalau punya rambut beruban?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim, no. 2102). Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi memberikan judul Bab untuk hadits di atas “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.

5- Perjalanan safar di masa silam akan nampak bekas pada rambut dan pakaian, lebih-lebih pakaiannya putih akan tampak penuh debu. Namun laki-laki yang datang tersebut tidak ada bekas safar sama sekali.

6- Ia duduk dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lutut laki-laki itu bersandar pada lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tangannya berada di lutut laki-laki itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ketika menuntut ilmu itu semestinya duduk dekat dengan guru yang mengajarkan ilmu.

7- Sah-sah saja seorang murid duduk-duduk dekat dengan gurunya namun dengan syarat hendaklah jangan sampai menghabiskan waktu gurunya dengan hal sia-sia.

8- Orang Arab Badui biasa memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama beliau saja ‘Wahai Muhammad’. Ini berbeda dengan penduduk sekitar beliau yang memanggil dengan panggilan kenabian. Hal ini menunjukkan bahwa ada adab dan aturan ketika memanggil orang yang ini kurang ada pada Arab Badui tadi.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan:

Disunnahkan bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan tuannya agar tidak dengan menyebut nama saja.

Dari ‘Abdullah bin Zahr, ia berkata, “Termasuk durhaka pada orang tua adalah engkau memanggil orang tua dengan namanya saja dan engkau berjalan di depannya.” (Al-Majmu’, 8: 257)

Ibnu Taimiyah berkata,

وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ

“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 4: 196)

9- Islam itu bersyahadat laa ilaha illallah, muhammadarrasulullah. Apa yang dimaksud syahadat? Syahadat adalah menetapkan dan mengakui dengan lisan dan hati.

10- Laa ilaha illallah artinya laa ilaha haqqun illallah, yaitu tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Konsekuensinya, sesembahan selain Allah itu batil, hanya Allah yang berhak disembah dan diibadahi.

11- Kenapa rukun laa ilaha illallah dan Muhammad Rasulullah dijadikan satu rukun, kenapa tidak dua rukun? Karena konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah adalah harus ikhlas. Sedangkan syahadat Muhammad Rasulullah adalah harus ittiba’ atau mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ibadah barulah sah dan diterima kalau didasari ikhlas dan ittiba’.

12- Syahadat dengan lisan saja tidak cukup, harus pula dengan hati dikarenakan orang munafik hanya bersyahadat dengan lisan saja dan tidak bermanfaat syahadat mereka.

13- Seseorang yang mengucapkan syahadat sudah dianggap masuk Islam, walaupun kita menduga orang yang mengucapkannya hanya untuk melindungi diri. Silakan ambil pelajaran dari kisah Usamah berikut ini. Imam Nawawi rahimahullah membawa hadits di bawah ini dalam Riyadhus Sholihin pada bab, “Menjalankan hukum-hukum terhadap manusia menurut lahiriyahnya. Sedangkan keadaan hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelakui dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh.

Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya padaku, “Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari, no. 4269 dan Muslim, no. 96)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91.

14- Syahadat Muhammad Rasulullah mengandung beberapa konsekuensi:

  • Membenarkan segala apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan, tanpa ada keraguan sama sekali.
  • Menjalankan setiap yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, tanpa menolaknya sama sekali.
  • Meninggalkan setiap yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam larang, tanpa menentangnya sama sekali.
  • Tidak mendahulukan perkataan manusia dibanding dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Tidak membuat bid’ah dalam agama yang tidak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan baik kaitannya dengan akidah (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Karenanya setiap orang yang berbuat bid’ah berarti tidak merealisasikan syahadat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar karena masih menambah ajaran baru dan berarti juga tidak beradab pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Tidak meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya kemampuan rububiyah (punya kemampuan seperti yang Rabb lakukan, yaitu mencipta, memberi rezeki dan mengabulkan doa, pen.). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah ‘abdun wa Rasul (hamba dan utusan Allah). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah tuhan yang berhak diibadahi. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah yang tidak boleh dilecehkan.
  • Menghormati perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya kita tidak boleh menyebar hadits-hadits palsu dan membuat-buatnya dengan maksud-maksud tertentu.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat sore, 9 Muharram 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/16508-hadits-arbain-02-memahami-dua-kalimat-syahadat.html